Rumah Mandiri Energi: Konsep Kemandirian Energi untuk Masyarakat Indonesia

Resti Yektyastuti (Dosen Universitas Djuanda Bogor dan Mahasiswa Doktoral Universitas Sebelas Maret Surakarta). IST

Oleh: Resti Yektyastuti (Dosen Universitas Djuanda Bogor dan Mahasiswa Doktoral Universitas Sebelas Maret Surakarta)

Pada 4-6 Juni 2024 lalu, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan adanya blackout atau pemadaman listrik secara massal di sebagian besar wilayah Sumatera. Hal ini terjadi karena adanya gangguan tranmisi listrin dari PLN.

Kejadian serupa juga pernah terjadi pada 2019 di wilayah Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Kondisi ini tentunya berdampak dan memberikan kerugian pada jutaan warga.

Kejadian ini juga menunjukkan ketergantungan yang luar biasa pada kebutuhan listrik dari energi fosil PLN. Isu energi ini sudah sejak lama menjadi wacana yang membuat kita berpikir panjang untuk menghadirkan solusi adanya energi alternatif dan kemandirian energi.

Di tengah isu energi tersebut, konsep rumah mandiri energi dapat menjadi solusi inovatif untuk menciptakan hunian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Rumah mandiri energi, juga dikenal sebagai rumah net-zero energy, dirancang untuk menghasilkan dan memenuhi kebutuhan energinya sendiri, tanpa bergantung pada sumber energi eksternal seperti jaringan listrik PLN.

Rumah mandiri energi merupakan konsep hunian yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan listrik dan panas bagi penghuni rumah melalui produksi energi yang cukup menggunakan sumber energi yang terbarukan (seperti tenaga surya, angin, dan biogas).

Konsep ini telah dilakukan di berbagai negara di dunia, seperti Jepang, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan beberapa negara Eropa.

Konsep Rumah Mandiri Energi
Sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan Indonesia, konsep rumah mandiri energi menjadi solusi bagi persoalan energi dan lingkungan.

Beberapa statistik mengungkapkan bahwa rumah mandiri energi mampu mengurangi konsumsi energi hingga 50% dibandingkan dengan rumah konvensional (Lstiburek, 1985).

Selain itu, rumah mandiri energi juga dapat meningkatkan kualitas udara di sekitar hunian dan meningkatkan kenyamanan bagi penghuninya (Nuryadi, 2011).

Pendekatan integratif yang menggabungkan tenaga surya dan biogas dari limbah sapi dapat diterapkan pada konsep rumah mandiri energi.

Pemanfaatan panel surya untuk suplai listrik dan biogas dari kotoran ternak sapi untuk memasak tidak hanya mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, tetapi juga memanfaatkan sumber daya lokal yang tersedia.

Panel surya dapat diaplikasikan pada bagian atap rumah. Dengan radiasi matahari rata-rata 4,2 kWh/m²/hari dan ketersediaan kotoran sapi sebagai bahan baku biogas, sistem ini menunjukkan potensi besar untuk diterapkan di Indonesia.

Biogas dapat dikelola dengan konsep biogas digester. Biogas digester adalah sebuah tangki kedap udara yang digunakan untuk menguraikan bahan organik seperti kotoran ternak, sisa makanan, atau limbah pertanian menjadi biogas.

Biogas ini merupakan gas campuran yang terdiri dari metana (CH4), karbondioksida (CO2), dan gas lainnya. Proses penguraian bahan organik di dalam biodigester dilakukan oleh bakteri metanogenik tanpa oksigen (anaerobik). Bakteri ini memakan bahan organik dan menghasilkan gas metana sebagai produk sampingannya. Gas metana inilah yang kemudian dimanfaatkan sebagai sumber energi.

Sistem biogas pada rumah mandiri energi dapat menggunakan limbah sapi sebagai bahan baku untuk menghasilkan gas metana yang digunakan untuk memasak. Sistem ini terdiri dari digester biogas dengan volume 4 m³ dan digester kontrol 2 m³. Berdasarkan penelitian, rata-rata waktu memasak per hari adalah 2,4 jam dengan jumlah sapi minimal 2 ekor per rumah tangga.

KEUNTUNGAN EKONOMIS

Dari aspek ekonomi, panel surya menghasilkan listrik secara langsung dari sinar matahari, sehingga dapat menggantikan penggunaan listrik dari PLN. Hal ini dapat mengurangi tagihan listrik secara signifikan, bahkan hingga 100% jika seluruh kebutuhan energi rumah dapat dipenuhi oleh panel surya.

Pada rumah ukuran 10×10 m dengan perangkat TV, kulkas, AC, dan lampu, rata-rata membutuhkan energi sebesar 8.480 Wh. Jika diasumsikan jam sinar matahari efektif di lokasi rumah adalah 5 jam per hari, maka panel surya yang dibutuhkan adalah (watt peak) = 8480 Wh / (5 kWh/m²/hari x 20% x 5 jam/hari) = 84.8 watt peak.

Sementara itu, biogas digester menunjukkan keuntungan yang signifikan dengan biaya investasi yang lebih rendah dibandingkan penggunaan gas elpiji Pertamina atau minyak tanah.

Biaya selama 20 tahun untuk sistem biogas adalah Rp. 8,7 juta, jauh lebih rendah dibandingkan biaya penggunaan elpiji yang mencapai Rp. 34,4 juta atau minyak tanah yang mencapai Rp. 61,1 juta. Ini menunjukkan bahwa biogas adalah pilihan yang ekonomis dan berkelanjutan untuk suplai energi memasak.

TANTANGAN

Melalui konsep ini, masyarakat Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada sumber energi fosil yang semakin menipis dan efek negatif penggunaannya pada lingkungan. Meskipun investasi awal untuk membangun rumah mandiri energi terbilang cukup tinggi, manfaat finansial jangka panjang serta penghematan biaya energi dapat dinikmati oleh pemilik rumah (data UIN Suska, 2011).

Selain itu, sosial budaya juga memegang peran penting dalam mendorong terwujudnya rumah mandiri energi melalui edukasi dan pengetahuan lingkungan.


Diperlukan komitmen dan kerja sama pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat dalam merealisasikan konsep rumah mandiri energi. Indonesia yang kaya akan sumber energi terbarukan (seperti tenaga surya, tenaga air dan tenaga angin) memiliki potensi untuk mencapai kemandirian energi melalui pengembangan konsep rumah mandiri energi.(*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.