Tanpa Penyelesaian RUU KUHP, ‘Restorative Justice’ dalam UU Kejaksaan Tak Akan Terpenuhi

Forum Legislasi dengan tema "RUU Kejaksaan, Mantapkan Peran dan Fungsi Korps Adhyaksa". Marhadi | Pakar

JAKARTA – Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan UU Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan telah disetujui dan ditetapkan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-10 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2021-2022. Meskipun demikian, Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil menilai semangat keadilan restoratif (restorative justice) yang coba dikuatkan dalam RUU tersebut, tidak akan terpenuhi tanpa adanya penyelesaian pembahasan RUU KUHP.

“Tanpa perbaikan atau tanpa penyelesaian RUU KUHP kita, maka dalam pasal 8 ayat 4 yang disebut-sebut bisa mendorong untuk restorative justice di Kejaksaan maka ini sulit untuk dilakukan,” jelas Nasir dalam Diskusi Forum Legislasi di Gedung Nusantara III, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (7/12/2021).

Diketahui, dalam Pasal 8 Ayat 4 RUU tersebut disebutkan bahwa “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Pasal ini, menurut Nasir, tetap dipertahankan dalam revisi UU tersebut.

Di sisi lain, dalam perspektif sistem peradilan pidana Indonesia, Nasir berpandangan, seorang Jaksa memiliki Asas Oportunitas, yaitu asas hukum yang memberikan wewenang kepada Jaksa Agung untuk tidak melakukan penuntutan demi kepentingan umum.

“Pasal 8 Ayat 4 ini disebut-sebut bisa dijadikan dalil untuk restorative justice. Tetapi, ini sebenarnya umum saja. Secara eksplisit tidak bisa disebutkan dalam RUU tersebut. Kecuali asas oportunitas yang dimiliki jaksa agung tadi,” jelas Anggota Fraksi PKS ini.

Karena itu, untuk penjelasan mengenai aturan tentang Keadilan Restoratif ini, menurut Nasir, haruslah diatur melalui UU KUHP. Sebab dalam RUU KUHP Pasal 42 diatur bahwa Jaksa bisa dengan alasan atau tidak ada alasan dia bisa memberhentikan penuntutannya, baik dengan syarat atau tidak bersyarat.

“Misalnya, ketika seseorang usia 70 tahun melakukan tindak pidana yang ancaman pidananya  4 tahun, dia bisa diselesaikan dengan restorative justice. Kemudian kerugian sudah diganti, tapi itu pun ancaman pidananya 4 tahun. Atau pidana yang ancaman hukumannya ringan. Jadi ada beberapa ketentuan dalam hukum acara pidana yang diperbaiki terkait restorative justice yang dilakukan oleh kejaksaan,” jelas Nasir.

Padahal, menurut Nasir, satu-satunya kewenangan untuk dapat melakukan restorative justice tersebut adalah asas oportunitas yang dimiliki Jaksa Agung. Bahkan, dalam RUU KUHAP, kewenangan restorative justice itu bukan hanya dimiliki jaksa agung, jaksa penuntut umum bisa melakukan juga dapat melakukan hal itu dengan syarat harus melapor ke kejaksaan negeri.

“Tapi jangankan RUU KUHAP (Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana), RUU KUHP saja sampai sekarang belum jelas nasibnya. Sudah di garis finish, tapi belum keluar dari garis finish,” tutup Nasir.MHD

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.