Soal Gibran

Peminpin Redaksi Harian PAKAR, Dr David Rizar Nugroho, MSi. (Ist)

Oleh : Dr David Rizar Nugroho, MSi
Pemimpin Redaksi Harian PAKAR

Rasa penasaran publik atas sikap Gibran Rakabuming Raka akhirnya terjawab: dia penerima pinangan Prabowo Subianto sebagai Bakal Calon Presiden. Sebagai kader PDIP, dia “tidak patuh” atas keputusan DPP PDIP yang sudah resmi mencalonkan Ganjar Pranowo-Mahfud MD sebagai pasangan Bacapres-Bacawapres.

Idealnya DPP PDIP memecat Gibran, atau santunnya sebelum menerima pinangan Prabowo, Gibran mengirimkan surat pengunduran diri sebagai kader PDIP dan menyerahkan KTA nya ke DPC PDIP Kota Solo.

Sampai tulisan ini saya tuntaskan, belum ada kabar apakah DPP PDIP memecat Gibran atau putra sulung Jokowi itu melayangkan surat pengunduran diri.

Kekuasaan itu memabukkan. Kekuasaan itu bikin orang bisa lupa diri. Oleh karena itu politisi harus belajar etika agar bisa melakukan kontrol diri (self kontrol). Etika politik menempatkan seseorang itu untuk dapat berfikir waras atau tidak, karena syahwat politik untuk berkuasa kadang irasional.

Saya sering menemukan kasus seseorang yang tidak bisa mengontrol syahwat politiknya terus melaju mengejar kekuasaan. Padahal saya yang berfikir rasional menghitung secara kalkulatif yang bersangkutan pasti terganjal.

Kita beri perspektif tidak mau menerima, kerena syahwat berkuasanya berkobar kobar, tidak dapat berfikir rasional maju terus dan kalah. Di sini saya mengambil kesimpulan siapapun yang tidak dapat mengontrol syahwat politik nya, dia akan terjerembab.

Tempatkan logika politik di atas syahwat politik sehingga kita dapat berhitung secara kalkulatif sehingga kita tahu kapan harus maju, kapan harus ngerem dan kapan harus berhenti.

Dalam kasus Gibran, dua setengah tahun lalu dia bukan siapa-siapa, kebetulan saja anak Presiden Jokowi. Kala itu, akan ada Pilkada Kota Solo di mana DPC PDIP Kota Solo resmi mencalonkan pasangan Purnomo-Teguh sebagai Bakal Calon Walikota dan Bakal Calon Wakil Walikota Solo.

Entah apa yang terjadi finalnya DPP PDIP merekomendasikan Gibran-Teguh sebagai Bakal Calon Walikota dan Bakal Calon Wakil Walikota Solo dan mereka menang telak di Pilkada Kota Solo.


Gibran baru 2 tahun lebih menjadi Walikota Solo, betul banyak prestasi yang sudah ditorehkan. Dia pun di pinang Prabowo sebagai Bacawapres. Langkah nya terbuka setelah Mahkamah Konstitusi membolehkan kepala daerah/mantan kepala daerah dicalonkan.


Kalau saya menjadi Gibran, pinangan ini saya tolak alasannya: pertama, kontrak sebagai walikota solo lima tahun dan baru di jalani dua tahun lebih masih banyak PR kepada rakyat Kota Solo yang harus dituntaskan.

Kedua, PDIP partainya Gibran sudah mencalonkan Ganjar-Mahfud, sebagai kader yang baik taat dan tegak lurus terhadap keputusan DPP PDIP. Ketiga, dengan menolak berarti memupus opini publik soal nepotisme keluarga dalam politik.

Keempat, Gibran masih muda dan Karir politiknya masih sangat panjang. Bisa ke Jateng dulu ikut Pilkada Jateng, atau Ke DPR RI atau ke kabinet sehingga meritokrasi nya berjalan dengan baik
Lantas baiknya bagaimana sekarang? Agar tidak menimbulkan polemik, Gibran baiknya melayangkan surat pengunduran diri dan mengembalikan KTA nya.

Ini penting agar tidak ada kesan PDIP bermain di dua kaki, yakni kaki Ganjar dan kaki Prabowo atau PDIP memecat Gibran. Memecat Gibran ada risikonya karena kubu Gibran bisa ber playing victim sebagai “korban” PDIP sehingga mendapat simpati publik. (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.