Kuasa Negara di Lingkungan Institusi Pendidikan dalam Perspektif Louis Althusser

Yusmawati, M.I.Kom. (IST)

Penulis: Yusmawati, M.I.Kom
Dosen di Fakultas Komunikasi dan Bahasa Universitas Bina Sarana Informatika

Globalisasi dan tantangannya menuntut negara mengoptimalkan setiap elemennya, salah satunya pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya.

Indonesia sebagai salah satu Negara Dunia Ketiga tidak hentinya melakukan upaya demi terwujudnya cita-cita dalam menciptakan masyarakat yang kompeten dan berorientasi pada persaingan global.

Negara dengan kuasanya, bertugas merealisasikan tujuan dan cita-cita bangsa dan negara melalui institusi-institusi yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing.

Ini menunjukkan bahwa negara sebagai aparatus memiliki banyak ide untuk menggerakkan seluruh elemen negara secara berkesinambungan. Dalam praktiknya, ide tersebut tidak hanya ditawarkan sebagai sebuah pilihan melainkan sebagai aturan atau kebijakan. Sekumpulan ide ini dinamakan ideologi.

Ideologi menurut Louis Althusser adalah partispasi segenap kelas sosial, tidak hanya sekedar ide yang dipaksakan oleh kelas-kelas tertentu. Ideologi lahir dari kesanggupan dalam melibatkan kelas subordinat, yang mengarah pada konstruktur sosial dan yang berlawan dengan kepentingan sosial lainnya.

Althusser memilih dua jenis aparatus yang bekerja. Pertama, aparatus negara yang yang kasat mata adalah aparatus represif negara (Repressive State Apparatus (RSA)), yang berfungsi secara koersif.

Contohnya adalah pemerintah, kepolisian, angkatan bersenjata, dan lain sebagainya. Jenis aparatus yang kedua adalah aparatus ideologi negara (Ideological State Apparatus (ISA)), yang berfungsi menjamin syarat-syarat reproduksi terjadi. Contohnya adalah agama, pendidikan, kebudayaan dan lain sebagainya.

Jika RSA bekerja secara kekerasan, maka ISA bekerja melalui internalisasi secara “humanis”.
Kebijakan dalam kerangka ideologi dimaksudkan untuk mengatur masalah tindakan dan praktik individu atau anggota suatu kelompok. Ideologi bekerja dalam situasi yang lama, dapat menghubungkan masalah mereka dan memberikan kontribusi dalam memnciptakan solidaritas dalam kelompok.

Dalam tulisan ini, saya memfokuskan pada salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh institusi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), yaitu Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).

MBKM merupakan kebijakan dari Kemendikbud yang digagas oleh Nadiem Makarim selaku menterinya. Program ini bertujuan mendorong mahasiswa untuk menguasai berbagai keilmuan yang berguna untuk memasuki dunia kerja.

Tujuan Merdeka Belajar adalah untuk membuat pembelajaran lebih berarti lagi. Secara umum, program ini bukan untuk menggantikan program yang telah berjalan, namun bertujuan untuk pembangunan bangsa dan memberdayakan masyarakat di Indonesia. Merdeka Belajar menawarkan proses pembelajaran yang lebih sederhana.

Pembelajaran dalam Kampus Merdeka memberikan tantangan dan peluang untuk mengembangkan kreativitas, kapasitas, kepribadian, dan kebutuhan mahasiswa, serta mengembangkan kemandirian dalam mencari dan menemukan pengetahuan melalui kenyataan dan dinamika lapangan seperti persyaratan kemampuan, permasalahan nyata, interaksi sosial, kolaborasi, manajemen diri, tuntutan kinerja, target dan pencapaiannya.

Untuk mengartikulasikan bagaimana relasi kuasa antara negara terhadap MBKM, maka saya meminjam Teori Ideologi milik Louis Altusser. Althusser adalah salah seorang filsuf Marxis dari Prancis yang pemikirannya banyak berpengaruh pada pemikiran kiri kontemporer. Semasa hidupnya (1918—1990), Louis Althusser dikenal sebagai seorang kritikus Marxis berpengaruh pada era 1960 dan 1970-an, serta mendapat predikat filsuf abad 20 setelah kematiannya.

Althusser memiliki pandangannya sendiri mengenai ideologi. Menurutnya ideologi adalah representasi dari hubungan imajiner manusia tentang realitas yang merupakan dampak internalisasi lingkungan yang kemudian menjadi dasar pengambilan keputusan manusia secara tidak sadar.

Teori Althusser tentang ideologi ini menekankan pada bagaimana kekuasaan kelompok yang dominan dalam mengontrol kelompok lain. Pertanyaannya, bagaimana cara atau penyebaran ideologi ini dilakukan? Pada titik inilah, konsep hegemoni yang dipopulerkan oleh ahli filsafat politik terkemuka Italia, Antonio Gramsci layak dikedepankan.

Gramsci membangun suatu teori yang menekankan bagaimana penerimaan kelompok yang didominasi oleh kehadiran kelompok dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindakan kekerasan.

Pendidikan dipengaruhi oleh hasil dari suatu kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Kebijakan sering dipergunakan dalam konteks tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para aktor dan institusi-institusi pemerintah serta perilaku pada umumnya.

Makna kebijakan juga sering dikonotasikan dengan sebagai politik karena membawa konsekuensi politis dan perilaku politik. Dengan makna lain kebijakan adalah a means to an end, alat untuk mencapai sebuah tujuan.
MBKM masih menjadi ‘mahakarya’ pendidikan di Indonesia karena selain berupa kebijakan, dijadikan pula sebagai suatu strategi ‘jualan’ (baca: promosi) oleh sebagian besar sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia.

Salah satu ide pokok dari kebijakan Merdeka Belajar adalah pada kebebasan sumber daya manusianya. Merdeka dalam arti terbebas dari ketakutan dan terbebas dari tuntutan. Namun di sisi lain, kebijakan ini merupakan kebijakan yang berlaku secara nasional, dan harus benar-benar direalisasikan pada setiap satuan pendidikan, mulai dari jenjang pendidikan dasar, menengah, hingga tinggi.

Ideologi dalam MBKM tidak lepas dari kinerja-kinerja aparatus negara. Aparatus yang dapat memaksakan kepatuhan secara langsung, seperti pemerintah, polisi, pengadilan serta sistem penjara. Kemendikbud sebagai perpanjangantangan pemerintah bertindak sebagai Repressive State Apparatus. Melalui aparatus ini, negara memiliki kekuasaan untuk “memaksa” warga negara untuk berkelakuan baik secara fisik, sifat kerjanya terutama adalah menindas.

Apabila dikaitkan dengan MBKM, kebijakan ini seakan dipaksakan karena banyaknya ketidaksesuaian di lapangan. Contohnya dalam program Kampus Mengajar, mahasiswa diminta mengajar siswa di kelas dan membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Mahasiswa sebagai warga negara yang bukan berasal dari fakultas atau program studi pendidikan tentu saja merasa kesulitan melakukannya.

Karena mereka tidak memiliki latar belakang dan pengetahuan tentang konsep pedagogik dan bagaimana membuat RPP yang ideal. Kondisi ini dianggap ‘menjerumuskan’ mahasiswa yang mengikuti program Kampus Mengajar sebagai salah satu program MBKM.
Tidak ada aparatus yang sepenuhnya represif.

Dengan cara yang sama namun secara berkebalikan, aparatus negara ideologis berfungsi secara masif dan berkuasa lewat ideologi, tapi berfungsi secara sekunder melalui represi pula, bahkan dalam tingkatan tertinggi – tapi hanya pada akhirnya – fungsi ini menjelma sangat halus dan tersembunyi, bahkan simbolik.

Tidak ada juga aparatus negara yang sepenuhya ideologis. Pendidikan dipengaruhi oleh hasil dari suatu kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah, oleh sebab itu pemilihan formulasi kebijakan yang tepat dapat menghasilkan kebijakan yang baik, begitu pula sebaliknya. ***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.