Komunikasi Politik yang Membodohi Rakyat

Suparman, Dosen Prodi Komunikasi – Sekolah Vokasi IPB. IST

Oleh: Suparman
Dosen Prodi Komunikasi – Sekolah Vokasi IPB

TAHUN politik semakin terasa menghangat. Kegiatan para politisi semakin inten. Baliho dan spanduk para caleg tersebar di mana-mana. Semuanya berisi pesan yang berisi pencitraan, berjuang demi rakyat, untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.


Tidak terkecuali pesan-pesan politik yang disampaikan oleh para bacapres maupun bacawapres. Mereka sudah mulai menyampaikan pesan-pesan populis. Pesan yang berisi janji-jani manis yang menggiurkan.

Pesan yang jika kita tidak menggunakan nalar mungkin kita akan memercayainya. Bahkan mungkin kita akan berguman dalam hati, wah ini baru calon presiden yang kita dambakan, dan jika kelak dia jadi presiden maka kita akan sejahtera.

Belum lama ini kita mendengar ada elit politik yang menjajikan jika bacapres yang diusung oleh partai dan koalisinya menang maka anak-anak pra sekeloh dan ibu-ibu hamil akan diberi makan gratis.

Anggaran yang dibutuhkan untuk melaksanakan program ini pun sangat fantastis. Ada elit politik dari kelompok lainnya yang menjajikan BBM gratis dan pemberian tunjangan untuk ibu hamil sebesar Rp 6 juta per bulan. Ini semua janji-janji yang tentunya sangat disukai oleh rakyat.

Tapi masalahnya apakah kelak janji tersebut dapat direalisasikan, belum tentu. Kemungkinan besar malah tidak dapat diwujudkan.

Itu semua hanya sekedar janji saja untuk memikat hati pemilih, hati rakyat. Boleh dikatakan ini sebenarnya janji palsu, yang membodohi rakyat. Janji demi untuk mendapatkan kekuasaan. Setelah nanti berkuasa janji tinggalah janji, yang penting berkuasa dulu. Masalah nanti janji yang sudah disampaikan dipenuhi atau tidak, itu masalah lain.

Sebenarnya kita sudah punya pengalaman terkait janji-janji politik semacam ini. Misalnya saja pada saat Pilkada DKI Jakarta 2017. Salah satu calon gubernur peserta Pilkada yang akhirnya menjadi pemenang dalam kontestasi tersebut, pada saat itu menjanjikan program rumah DP nol persen. Program ini diperuntukkan bagi penduduk Jakarta yang belum memiliki rumah.

Kala itu dijanjikan akan dibangun 232.214 unit rumah/hunian. Tapi bagaimana dengan realisasinya? Faktanya unit hunian yang berhasil dibangun oleh gubernur terpilih sampai dengan akhir masa jabatannya hanya 2.322 unit hunian atau hanya sekitar satu persen saja. Jauh dari target yang dijanjikan.

Belum lagi ternyata rumah DP nol persen yang dibangun pun hanya bisa dinikmati oleh rakyat yang berpenghasilan menengah ke atas karena ternyata harganya mahal. Satu unit hunian harganya mencapai Rp 300 juta dan cicilan termurahnya sekitar Rp 2,6 juta per bulan dengan masa cicilan 20 tahun.

Sedangkan untuk tenor lima tahun cicilannya mencapai Rp 6,3 juta perbulan. Rakyat kecil dengan pendapatan rendah mana mampu membelinya. Rakyat kecil yang telah memilihnya dan mengantarkannya menjadi pemenang dalam Pilkada tersebut pasti menyesal merasa telah dibodohi dan tertipu oleh janji manis seorang calon pemimpin.

Lalu kenapa calon pemimpin yang pernah memberikan janji kosong masih tetap berperilaku sama, masih tetap memberikan janji muluk? Jawabannya karena mereka sangat tahu sikap mayoritas masyarakat kita yang senang mendengar janji-janji manis yang dapat mengatasi permasalahan secara instan.

Walaupun sebenarnya jika dikritisi program yang ditawarkan oleh calon pemimpin tersebut tidak realistis. Alasan lainnya adalah karena mereka juga sangat paham bahwa mayoritas masyarakat kita itu mudah lupa dan mudah dibodohi.

Sekarang kita coba kritisi di mana letak ketidakrealistisan janji-janji politik dari para elit politik yang telah disebutkan sebelumnya.
Program makan gratis bagi anak dan bumil
Program ini disampaikan oleh politisi salah satu bacapres dalam Pemilu 2024. Program makan gratis yang ditawarkan akan menyasar anak-anak pra sekolah dan ibu hamil (bumil).

Berdasarkan data yang dimiliki tim ahli bacapres yang bersangkutan, saat ini ada 30 juta anak pra sekolah dan 77 juta bumil. Karena itu jika nanti program ini direalisasikan akan membutuhkan dana sebesar Rp 400 triliun.

Tujuan dari program makan gratis ini adalah untuk meningkatkan gizi anak pra sekolah dan bumil. Peningkatan gizi anak dan bumil sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya stunting dalam rangka meningkatkan mutu SDM.

Hanya saja program ini tidak realistis jika dilihat dari jumlah dana yang harus disediakan negara. Dana sebesar Rp 400 triliun itu sekitar 13,15 persen APBN 2023 yang sebesar Rp 3.041 triliun. Jumlah yang sangat besar.

Bandingkan dengan alokasi anggaran untuk dana desa yang sebesar Rp 70 triliun atau sekitar 2,3 persen dari APBN 2023. Alokasi anggaran sektor pendidikan saja yang sebesar 20 persen dari APBN baru bisa dimplementasikan oleh pemerintah setelah adanya regulasi setingkat undang-undang, yakni UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Program makan gratis selain tidak realistis juga tidak efektif. Selain itu juga tidak adil, karena tidak semua anak pra sekolah dan bumil membutuhkan dan berhak mendapatkannya. Anak dan bumil yang berasal dari golongan mampu, golongan yang termasuk tidak miskin kebutuhan gizinya mungkin sudah terpenuhi.

Golongan ini tidak perlu mendapatkan makan gratis karena tidak efektif juga akan dirasa tidak adil jika orang kaya diberi makan gratis. Makanya hampir semua program bantuan sosial, seperti Bantuan Sosial Tunai (BST), Bantuan langsung Tunai Desa (BLTD), Program Keluarga Harapan (PKH), dan lain sebagainya, umumnya hanya menyasar kelompok rentan yang benar-benar membutuhkan.


Teknis pelaksanaan dari program makan gratis ini pun sulit untuk direalisasikan. Menurut yang diberitakan media, pelaksanaannya akan melibatkan BUMDesa dan koperasi. Padalah berdasarkan data dari Kemendesa PDTT sampai dengan tahun 2023 masih ada beberapa provinsi yang belum ada koperasinya, dan jumlah BUMDesa pun hanya ada sekitar 50 ribu.

Sementara menurut data BPS jumlah desa/kelurahan pada tahun 2022 ada sebanyak 83.794 desa/kelurahan. Oleh karena itu, program makan gratis ini sebenarnya hanya sekedar janji manis saja untuk memikat rakyat sebagai pemilih.


BBM gratis dan tunjangan untuk bumil
Janji politik berkutnya yang tidak realistis adalah janji BBM gratis dan tunjangan untuk bumil sebesar Rp 6 juta setiap bulan. Janji ini datang dari bacawapres yang juga merupakan pipmpinan tertinggi sebuah partai yang cukup besar.

Walaupun beberapa hari kemudian yang bersangkutan mengklarifikasi terkait janji yang telah disampaikannya tersebut.
Klarifikasi disampaikan karena politisi tersebut menilai janji politik yang dia sampaikan telah disalahmengertikan.

Menurutnya yang dimaksud dengan BBM gratis adalah subsidi BBM harus diarahkan dengan tepat dan diberikan kepada orang-orang yang benar-benar membutuhkan. Jangan subsidi BBM diberikan kepada semua orang secara merata.

Klarifikasinya ini menunjukan bahwa si politisi berasumsi bahwa pemerintah selama ini telah salah dalam memberikan subsidi BBM. Kebijakan subsidi yang telah diberikan saat ini menurutnya tidak tepat sasaran. Dia tidak tahu betapa sulitnya mengambil keputusan kebijakan terkait subsidi BBM. Seandainya dia nanti berkuasa pun pasti akan menemui kesulitan yang sama dalam mengambil kebijakan subsidi BBM agar tepat sasaran.

Adapun klarifikasi untuk janji berikutnya yaitu pemberian tunjangan kepada bumil sebesar Rp 6 juta per bulan. Klarifikasi terutama terkait berapa nilai tunjangan yang akan diberikan. Akan tetapi bawacapres yang bersangkutan dalam klarifikasinya tidak memberikan berapa nilai tunjangan tersebut. Dia hanya menyatakan angkanya paling tidak sebesar nilai untuk memenuhi kebutuhan gizi awal selama kehamilan.

Bawacapres yang bersangkutan menyampaikan klarifikasi mungkin karena dia telah menuai banyak kritik dari masyarakat betapa tidak realistisnya program yang dijanjikannya. Bayangkan saja dengan harga BBM seperti saat ini saja pemerintah harus mengeluarkan dana untuk subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp 338 triliun. Jadi jika program BBM gratis ini akan dilaksanakan, pemerintah harus menyediakan anggaran berapa. Janji yang sangat tidak realistis.

Jangan-jangan semua APBN hanya sanggup untuk membiayai program BBM gratis ini.
Selanjutnya untuk program tunjangan bumil sebesar Rp 6 juta per bulan yang akan diberikan selama sembilan bulan. Dengan menggunakan data yang disampaikan oleh tim ahli bacapres yang lain, bahwa saat ini ada 77 juta bumil. Berdasrakan data ini maka nilai dari program ini akan mencapai Rp 4.158 triliun. Jumlah ini melebihi nilai APBN 2023 juga melampaui RAPBN 2024 yang sebesar Rp 3.304 triliun. Program ini pasti tidak dapat diwujudkan.


Janji yang disampaikan bawacapres bukan hanya itu saja. Di media sosial heboh dengan adanya video Wasekjen dari partai pimpinan bawacapres yang bersangkutan. Dalam video tersebut sang Wasekjen menyampaikan janji yang lain jika bawacapresnya memenangkan Pemilu 2024. Salah satu janji yang disampaikannya adalah menambah dana desa dari semula Rp 1,5 miliar menjadi Rp 5 miliar per tahun.


Dengan kondisi keuangan negara saat ini, janji penambahan dana desa ini pasti akan sulit untuk direalisasikan karena jumlah anggaran yang harus dialokasi sangat besar. Dalam APBN 2023 saja alokasi dana desa sudah mencapai Rp 70 triliun untuk disalurkan kepada 74.954 desa di 434 kabupaten/kota. Itu berati rata-rata per desa akan mendapatkan dana desa sekitar Rp 933 juta.

Jika janji penambahan dana desa dilaksanakan maka negara harus menyediakan anggaran untuk dana desa sebesar Rp 374 tiliun lebih atau sekitar 11,36 persen dari RAPBN 2024.
Politisi sering mengabaikan fakta dan data
Para politisi dalam membuat janji berupa program-program yang ditawarkan kepada masyarakat seringkali mengabaikan fakta-fakta dan data yang ada. Seperti janji-janji program yang telah dikemukakan di atas.

Mereka mengabaikan fakta bahwa yang namanya sumber daya itu terbatas, termasuk keuangan negara.


Negara sebagai sebuah entitas tentunya harus mampu mengelola keuangannya agar kelangsungan hidupnya terjamin. Negara harus memikirkan banyak sektor dan membiayainya agar semuanya bisa bergerak.

Negara tidak bisa fokus hanya pada satu sektor saja misalnya hanya sektor energi atau sosial saja. Ada sektor-sektor lain yang juga harus diperhatikan.

Sektor-sektor lainnya ini pun tentunya membutuhkan biaya, seperti sektor pendidikan yang menurut undang-undang minimal harus dialokasian sebesar 20 persen dari total APBN. Sisanya yang 80 persen tentunya harus dibagi-bagi untuk membiayai sektor-sektor lainnya, seperti pertahanan, pertanian, kesehatan, komunikasi dan informatika, perhubungan, agama, dan lain sebagainya.

Politisi sering abai atas fakta dan data ini, pada akhirnya banyak program yang dijanjikannya menjadi sulit untuk diwujudkan.
Politisi yang banyak membuat janji yang populis padahal tidak realistis sebenarnya hanya sekedar menyenangkan hati pemilih untuk memperoleh dukungan dalam pemilu.

Mereka membuat janji manis hanya sekedar untuk meraih kekuasaan. Kelak setelah berkuasa mungkin program-program yang dijalankan justru sebaliknya tidak membawa kepada kemajuan bangsa dan negara, tidak membuat kesejahteraan dan kemakmuran serta keadilan bagi rakyat.


Oleh karena itu, sebagai rakyat yang cerdas kita harus selalu kritis dan bijaksana dalam menilai pesan-pesan yang disampaikan oleh para politisi agar kita tidak salah memilih pemimpin. Semoga dalam Pilpres 2024 rakyat dapat memilih pemimpin yang memiliki integritas dan kompetensi untuk memimpin negara. Sehingga cita-cita bangsa untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dapat segera terwujud. ***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.