JAKARTA – Sebagai lembaga pendidikan, pesantren terdiaspora, dan memiliki berbagai model pendidikan. Ada yang formal dan non-formal, ada yang mengikuti kurikulum nasional, ada yang tidak, ada yang salafiyah, ada yang modern.
“Sebagaimana tidak ada standar bagi kelembagaan pesantren, tidak ada pula kurikulum yang menyatukan pesantren,” kata anggota DPD RI, Hilmy Muhammad, Rabu (3/11/2021).
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Hilmy dalam Webinar Nahdlatul Ulama dan Pendidikan Pesantren di D.I. Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni (IKA) UNY sebagai bagian dari diskusi dwi minggu Karangmalang Education Forum ke-13.
“Model pendidikan pesantren berbeda-beda. Ada yang formal dan non-formal, ada yang mengikuti kurikulum nasional, ada yang tidak; ada yang salafiyah, ada yang modern.
Tergantung pada kecenderungan dan keahlian pengasuhnya. Ini menjadi salah satu tanda
kemandirian pesantren,” kata salah satu pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta itu.
Upaya membuat kurikulum bersama sudah pernah dilakukan oleh Ikatan Persatuan Pesantren di bawah NU atau Rabithotul Ma’ahid al Islamiyyah (RMI), bahkan semenjak tahun 1990-an, tidak pernah bisa berhasil dikarenakan bermacam-macamnya model pesantren dan kurikulumnya.
Oleh sebab itu, lanjut pria yang akrab disapa Gus Hilmy
tersebut, standar setiap pesantren juga berbeda, baik dari pendidik, kurikulum maupun lulusannya.
Meski demikian, tutur Gus Hilmy, terdapat materi ajar (kitab kuning) yang dipelajari di pesantren. Seperti dalam ilmu fiqh menggunakan Safinatun Najah, Fatkhul Qarib, Kifayatul Akhyar, dan lain sebagainya.
“Di luar itu, sekarang banyak pesantren yang menggabungkan kurikulum nasional dan kurikulum pesantren. Dan hasilnya luar biasa,” ujar Wakil Rois Syuriah PWNU DIY tersebut.
Gus Hilmy mencontohkan, dari hasil kolaborasi dan adaptasi kurikulum tersebut, banyak santri yang meraih piala dalam berbagai kejuaraan seperti olimpiade, baik tingkat kabupaten, provinsi maupun nasional. Tak sedikit pula yang mendapatkan beasiswa tanpa tes di perguruan tinggi ternama.
Yang membedakan pendidikan pesantren dengan pendidikan lainnya, menurut Gus Hilmy adalah bahwa di dalam pesantren tidak hanya terjadi transfer pengetahuan, tetapi juga nilai-nilai kepesantrenan. Santri dibimbing dalam asrama sepanjang 24 jam.
Selain itu, pesantren juga tidak hanya lembaga pendidikan, melainkan juga lembaga dakwah dan lembaga pemberdayaan masyarakat. Pendidikan di pesantren, lanjut Gus Hilmy, memungkinkan untuk dikolaborasikan dan disinergikan dengan model pendidikan lain, seperti dengan LP Ma’arif.
“Di antaranya adalah kesamaan tujuan yang mengharapkan anak didik beriman dan bertakwa, muatan kurikulum utamanya tentang Al Qur’an dan ilmu-ilmu pokok agama,
standar pendidik yang memiliki pengetahuan tentang kepesantrenan, dan ilmu hal atau ilmu yang membekali pelajar tentang hal-hal yg menjadi kewajiban dia, baik sebagai pedagang, buruh, birokrat atau yang lainnya,” jelas pria yang merupakan anggota MUI Pusat tersebut. =MHD