ANGKLUNG merupakan alat musik khas Indonesia yang banyak dijumpai di daerah Jawa Barat. Sampai saat ini angklung masih banyak dikenal dan masih tetap eksis. Alat musik tradisional ini terbuat dari bambu dan suara yang dikeluarkan berefek dari benturan tabungtabung bambu tersebut yang dimainkannya dengan cara digoyangkan.
Tidak hanya di tanah air, alat musik tradisional yang terbuat dari bambu ini sudah menjadi warisan budaya dunia. Sebagai alat musik asli masyarakat sunda, kesenian angklung beragam dengan keunikan dan khas daerahnya masing-masing.
Salah satunya yakni Angklung Gubrang, yang mana jenis angklung ini berasal dari Kampung Cipining. Angklung Gubrag memiliki ciri khas yaitu berukuran besar, yang mana berbeda dengan angklung pada umumnya. Yakni memiliki tinggi 50 cm hingga 1 meter dan bambu yang digunakan untuk angklung gubrak ini menggunakan bambu besar yaitu bambu surat.
Selain itu angklung gubrag desa Cipining ini memiliki ciri khas bulu ayam hutan yang umurnya sudah ratusan tahun yang dipercaya setiap orang yang memegang angklung ini dan bulu tersebut jatuh ketangannya maka akan membawa keberkahan pada orang tersebut.
Bapak Mudyani merupakan pewaris angklung gubrag turunan ke-7 dari silsilahnya. Bapak Muktar yang kerap dikenal Bapak Kolot Muktar ini seorang pembuat angklung gubrag pertama.Angklung gubrag ini tidak semata-mata dibuat pada zaman dulu oleh masyarakat Cipining.
Bapak Mudyani menceritakan bahwa “Kala itu penduduk desa Cipining mengalami krisis panen, sudah berbulan-bulan padi yang mereka tanam tidak bisa dipanen karena desa tersebut sedang kekeringan sehingga menyebabkan penduduk setempat tidak bisa menyiram sawah dan hujanpun tak pernah turun.”
“Sudah berbagai cara dilakukan oleh desa Cipining demi kelangsungan panen padi tersebut tetapi tetap tidak membuahkan hasil. Akhirnya tampilah seorang pemuda yang bernama Muktar dengan mengajak kawan-kawannya pergi kesebuah Gunung yaitu gunung Cirangsad untuk menebang bambu surat. Kemudian disimpannya sampai kering.”
“Setelah bambu kering mulailah pemuda tersebut membuat angklung sambal matigeni (bertapa). Setelah 40 hari selesailah pembuatan angklung dengan dua buah dogdog lojor (sejennis tam-tam panjang/tumba) yang berarti selesailah pemuda Muktar bertapa. Diajarkannya para pemuda cara membunyikannya.”
“Kini para penduduk Cipining mengadakan upacara untuk memohon Dewi Sri (Dewi kesuburan) ke bumi dengan hiburan berupa permainan angklung yang dibawakan pemuda Muktar beserta kawan-kawannya pada waktu akan memulai menanam padi. Ternyata tanaman padi tumbuh dengan baik, subur dan bulirnyapun bernafas,” ungkapnya.
Rakyat terlepas dari malapetaka yang selama ini menimpaya dan kembali menkmati kemakmuran. Dengan suburnya kembali padi, pertanda bahwa Dewi Sri turun (nga-gubrag) lagi ke bumi untuk memberi kemakmuran kepada rakyat. Sebelumnya angklung gubrag hanya dimainkan pada saat menyimpan padi kelumbung setelah masa panen.
Karena angklung itu mampu memikat Dewi Sri untuk turun ke bumi dinamailah angklung itu “ANGKLUNG GUBRAG” sampai sekarang. ***
Penulis : Ina Elfita Rahmawati