CIBINONG – Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian dan Pengembangan (Bappedalitbang) Kabupaten Bogor belum lama ini melaksanakan diskusi bersama beberapa instansi dan elemen masyarakat terkait pencegahan dan penanganan kawin kontrak di kawasan pariwisata.
Kepala Bappedalitbang Kabupaten Bogor, Suryanto Putra mengatakan, dalam diskusi tersebut merumuskan penyusunan naskah kajian dan rekomendasi desain kebijakan tentang pencegahan dan penanganan kawin kontrak di Kabupaten Bogor.
Menurutnya, kawin kontrak sudah menjadi sebuah fenomena sosial yang marak terjadi di Kabupaten Bogor saat ini. Kawin Kontrak umumnya terjadi di daerah-daerah wisata yang berada di Kabupaten Bogor, utamanya di desa-desa di Kawasan Puncak, Kecamatan Cisarua.
“Berasal munculnya kawin kontrak ini kan di kawasan Puncak karena banyaknya wisatawan asal Timur Tengah ke kawasan itu, hingga akhirnya ramai menjadi sebuah kegiatan yang terbilang unik dan menjadi perhatian banyak pihak,” ujar Suryanto kepada wartawan belum lama ini.
Dalam diskusi itu, Pemerintah bersama semua pihak sepakat mencari solusi dalam menangani permasalahan Kawin Kontrak, dimana pemangku kebijakan perlu memperhatikan berbagai perspektif agar kebijakan yang dihasilkan dapat secara efektif menyelesaikan permasalahan tersebut, yakni perspektif yuridis, agama, kesusilaan, adat-budaya, dan sosial-ekonomi.
Maka dari itu, dikarenakan permasalahan Kawin Kontrak ini merupakan masalah yang multidimensi, sehingga perlu dalam usaha penyelesaiannya melibatkan berbagai stakeholders baik Pemerintah Daerah dengan berbagai Perangkat Daerah terkait maupun Pemerintah Pusat.
“Dalam menyelesaikan permasalahan kawin kontrak, perlu ada beberapa hal yang diperhatikan oleh pemangku kebijakan.
Pertama terkait Kewenangan Pemda dalam menangani Kawin Kontrak. Perkawinan sejatinya adalah kelembagaan agama, dan berdasarkan UU Pemda, urusan agama ini merupakan urusan aboslut Pemerintah Pusat, sehingga Pemerintah Daerah tidak dapat lebih jauh melakukan pengaturan (regulasi) yang bukan merupakan kewenangannya,” bebernya
Lanjut dia, berdasarkan hal tersebut, Pemerintah Daerah perlu mencari kewenangan otonom dalam menangani fenomena kawin kontrak ini.
Misalnya, kewenangan dalam urusan pemberdayaan dan perlindungan perempuan dan anak dan pengaruj utama gender.
Selain itu, Pemerintahan Daerah juga dapat melakukan serangkaian kegiatan dalam rangka tugas pembantuan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat, atau juga dalam bentuk Kerja Sama Daerah maupun komunikasi dan sinkronisasi kerja dengan aparat Pemerintah Pusat.
Kedua, kebanyakan pelaku Kawin Kontrak yang merupakan Warga Negara Asing asal timur tengah perlu menjadi perhatian. Status WNA tersebut bermacam-macam, ada yang sebagai turis, namun tidak sedikit juga yang sebagai pengungsi, pencari suaka, atau bahkan sebagai imigran gelap.
“Ketidakjelasan status tersebut selain menimbulkan problem hukum juga terhadap problem sosial. Maka dari itu hukum keimigrasian juga memiliki peran juga dalam penanganan Kawin Kontrak,” ungkapnya.
Ketiga, hal yang harus diperhatikan oleh para pemangku kebijakan adalah terkait kemungkinan penggunaan hukum pidana sebagai instrumen dalam menyelesaikan permasalahan Kawin Kontrak.
Dalam pelaksanaannya, Kawin Kontrak seringkali dijadikan sebagai sarana untuk melakukan praktik prostitusi terselubung. Sangat mungkin terdapat mucikari atau orang yang berperan untuk mengumpulkan perempuan yang berniat dan mau untuk melakukan Kawin Kontrak dan mempertemukan dengan laki-laki yang memiliki niat serupa.
Selain itu, hukum pidana juga dapat berperan dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan yang marak terjadi dalam pelaksanaan Kawin Kontrak.
Keempat, faktor-faktor non-hukum juga perlu menjadi pertimbangan. Misalnya dalam konteks pemberdayaan perempuan, ketidakberdayaan perempuan secara ekonomi seringkali menjadi alasan mereka untuk tertarik dengan kawin kontrak.
“Tingkat perempuan rawan sosial ekonomi pun cukup besar. Selain itu dalam konteks kebudayaan, perlu ditelisik apakah memang fenomena kawin kontrak ini dianggap sebagai budaya dan adat yang biasa saja atau bahkan karena mempunyai asumsi melakukan perkawinan dengan orang “Arab” adalah bentuk dari kemuliaan, oleh karena sebab “Arab” adalah tanah suci,” tandasnya. =YUS